JAKARTA, KOMPAS.com - Publikasi peneliti Indonesia di jurnal ilmiah internasional dikatakan minim, tapi kecolongan publikasi juga banyak.
Kasus terakhir, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) terlibat dalam kerja sama penemuan spesies baru tawon Megalara garuda. Namun, publikasi di jurnal internasional cuma menyertakan nama peneliti asing.
Menanggapi hal tersebut, Jonatan Lassa Ph.D., ilmuwan Indonesia yang kini di Institute of Catastrophe and Risk Management (ICRM) Nanyang Technological University, Singapura, menegaskan pentingnya peran pemerintah untuk mendukung penelitian dan publikasi ilmiah.
Lassa mengatakan, pemerintah wajib membangun pusat-pusat riset unggulan untuk tiap kajian ilmu yang bisa diakses semua ilmuwan Indonesia sehingga peneliti bisa memproduksi pengetahuan di negaranya sendiri.
"Bila tidak, maka kita harus tetap memakai skenario B, yakni bergantung pada kemurahan hati ilmuwan luar dalam memasukan nama kita sebagai co-author," ungkap Lassa lewat surat elektronik, Sabtu (7/4/2012).
Pusat riset unggulan sebenarnya sudah dimiliki Indonesia, misalnya LIPI dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Sayangnya, dukungan pendanaan bagi lembaga penelitian masih minim kegiatan penelitian dan publikasi sulit dilakukan secara mandiri.
Selain pembangunan pusat riset unggulan, Lassa menuturkan bahwa peneliti Indonesia juga harus bisa membuktikan bahwa dirinya layak masuk sebagai co-author, bukan hanya karena terlibat dalam pengumpul sampel atau data lapangan, tetapi juga mampu terlibat menginterpretasikan data-data.
"Alasannya, kita tidak sekedar bergantung pada kekayaan alam kita, tetapi juga pada kekayaan intelektual kita yang tentunya perlu dibangun secara serius. Apa yang bisa dilakukan?" papar Lassa yang lulusan University of Bonn, Jerman.
Sumber: kompas.com (Selasa, 10 April 2012)
No comments:
Post a Comment